Sabtu, 11 Juli 2015

materi ceramah maulid



الحمد لله رب العالمين إله المعبود , والصلاة والسلام على سرعين الوجود , واصل النور كل موجود , سيدنا وحبيبنا وشفيعنا ومولانا محمد المحمود. وعلى أله وصحبه عدد كل شقي ومسعود . " اما بعد "
-         Para Habaib , Alim Ulama, Tokoh Masyarakat . Para pejabat pemerintah dalam semua tingkatannya, hadirin ........
-         Pertama-tama .........
من قصد موضعا بقرائة فيه مولد النبى محمد صلى الله عليه وسلم فقد قصد روضة من رياض الجنة لانه ما قصد ذالك الموضع الالمحبة رسول فقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " من احبنى كان معى فى الجنة " ( سيد سـرالسقطى )
-         Kedua Solawat dan salam.....
a.       Nasab Nabi  محمد بن عبد الله بن عبد المطلب بن هاشيم ألخ ........................................................
نسب تكسب العلى بحلاه * قلدتها نجومهاالجوزاء
b.      Tingginya kedudukan Nabi  وقرن اسمه مع اسمه تنبيها على علو مقامه........................................
c.       Cerita Nabi Musa 
بشرى لنا معشر الاسلام إن لنا * من العناية ركنا غير منهدم
لما دعا الله داعينا لطاعـــــــته * بأكرم الرشل كنا اكرم الأمم 
-         Ahlu Sunnah Wal jamaah  ( Qouliyah , Fi’liyah dan Taqririyah )
-         Dalil Pujian Rosul Pada Ka’ab Bin Zuhair bin Salma berkaitan masalah burdah
-         Burdah di Indonesia yg Terkenal Burdah Syeh Abu Said Al busiri ( sayyidu l madikhin dari mesir iskandariyah )
-         Dalil Syafaat Rosul oleh labib bin Robiah
-         Sifat-sifat nabi  لقد جاءكم رسول من انفسكم عزيز عليه ما عنتم , حريص عليكم , بالمؤمنين رؤف الرحيم
1.      Aziz ( Sifat Berat hati )
a.      Membangun iman b. Hubungan dengan Alloh c. Membangun sosial
2.      Kharisun ( menjaga )
a.      Aqidah b. Nahi munkar
3.      Rouf ( Kepekaan Sosial / kasih Sayang )

a.      Kebersamaan b. Persatuan c. Silatur rokhim.

Meneladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Ber’idul Fithri



Idul Fitri bisa memiliki banyak makna bagi tiap-tiap orang. Ada yang memaknai Idul Fitri sebagai hari yang menyenangkan karena tersedianya banyak makanan enak, baju baru, banyaknya hadiah, dan lainnya. Ada lagi yang memaknai Idul Fitri sebagai saat yang paling tepat untuk pulang kampung dan berkumpul bersama handai tolan. Sebagian lagi rela melakukan perjalanan yang cukup jauh untuk mengunjungi tempat-tempat wisata, dan berbagai aktivitas lain yang bisa kita saksikan. Namun barangkali hanya sedikit yang mau untuk memaknai Idul Fitri sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “memaknainya”.
Idul Fitri memang hari istimewa. Secara syar’i pun dijelaskan bahwa Idul Fitri merupakan salah satu hari besar umat Islam selain Hari Raya Idul Adha. Karenanya, agama ini membolehkan umatnya untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan bersenang-senang pada hari itu.
Sebagai bagian dari ritual agama, prosesi perayaan Idul Fitri sebenarnya tak bisa lepas dari aturan syariat. Ia harus didudukkan sebagaimana keinginan syariat.
Bagaimana masyarakat kita selama ini menjalani perayaan Idul Fitri yang datang menjumpai? Secara lahir, kita menyaksikan perayaan Hari Raya Idul Fitri masih sebatas sebagai rutinitas tahunan yang memakan biaya besar dan juga melelahkan. Kita sepertinya belum menemukan esensi yang sebenarnya dari Hari Raya Idul Fitri sebagaimana yang dimaukan syariat.
Bila Ramadhan sudah berjalan 3 minggu atau sepekan lagi ibadah puasa usai, “aroma” Idul Fitri seolah mulai tercium. Ibu-ibu pun sibuk menyusun menu makanan dan kue-kue, baju-baju baru ramai diburu, transportasi mulai padat karena banyak yang bepergian atau karena arus mudik mulai meningkat, serta berbagai aktivitas lainya. Semua itu seolah sudah menjadi aktivitas “wajib” menjelang Idul Fitri, belum ada tanda-tanda menurun atau berkurang.
Untuk mengerjakan sebuah amal ibadah, bekal ilmu syar’i memang mutlak diperlukan. Bila tidak, ibadah hanya dikerjakan berdasar apa yang dia lihat dari para orang tua. Tak ayal, bentuk amalannya pun menjadi demikian jauh dari yang dimaukan syariat.
Demikian pula dengan Idul Fitri. Bila kita paham bagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini, tentu berbagai aktivitas yang selama ini kita saksikan bisa diminimalkan. Beridul Fitri tidak harus menyiapkan makanan enak dalam jumlah banyak, tidak harus beli baju baru karena baju yang bersih dan dalam kondisi baik pun sudah mencukupi, tidak harus mudik karena bersilaturahim dengan para saudara yang sebenarnya bisa dilakukan kapan saja, dan sebagainya. Dengan tahu bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beridul Fitri tidak lagi butuh biaya besar dan semuanya terasa lebih mudah.
Berikut ini sedikit penjelasan tentang bimbingan syariat dalam beridul Fitri.
Definisi Id (Hari Raya)
Ibnu A’rabi mengatakan: “Id1 dinamakan demikian karena setiap tahun terulang dengan kebahagiaan yang baru.” (Al-Lisan hal. 5)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Id adalah sebutan untuk sesuatu yang selalu terulang berupa perkumpulan yang bersifat massal, baik tahunan, mingguan atau bulanan.” (dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan)
Id dalam Islam adalah Idul Fitri, Idul Adha dan Hari Jum’at.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا، يَوْمَ اْلأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Dari Anas bin Malik ia berkata: Rasulullah datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari (raya) yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apa (yang kalian lakukan) dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab: “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” (Shahih, HR. Abu Dawud no. 1004, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Hukum Shalat Id
Ibnu Rajab berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang hukum Shalat Id menjadi 3 pendapat:
Pertama: Shalat Id merupakan amalan Sunnah (ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang dianjurkan, seandainya orang-orang meninggalkannya maka tidak berdosa. Ini adalah pendapat Al-Imam Ats-Tsauri dan salah satu riwayat dari Al-Imam Ahmad.
Kedua: Bahwa itu adalah fardhu kifayah, sehingga jika penduduk suatu negeri sepakat untuk tidak melakukannya berarti mereka semua berdosa dan mesti diperangi karena meninggalkannya. Ini yang tampak dari madzhab Al-Imam Ahmad dan pendapat sekelompok orang dari madzhab Hanafi dan Syafi’i.
Ketiga: Wajib ‘ain (atas setiap orang) seperti halnya Shalat Jum’at. Ini pendapat Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Al-Imam Asy-Syafi’I mengatakan dalam Mukhtashar Al-Muzani: “Barangsiapa memiliki kewajiban untuk mengerjakan Shalat Jum’at, wajib baginya untuk menghadiri shalat 2 hari raya. Dan ini tegas bahwa hal itu wajib ‘ain.” (Diringkas dari Fathul Bari Ibnu Rajab, 6/75-76)
Yang terkuat dari pendapat yang ada –wallahu a’lam– adalah pendapat ketiga dengan dalil berikut:
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ؟ قَالَ: لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Dari Ummu ‘Athiyyah ia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengajak keluar (kaum wanita) pada (hari raya) Idul Fitri dan Idul Adha yaitu gadis-gadis, wanita yang haid, dan wanita-wanita yang dipingit. Adapun yang haid maka dia menjauhi tempat shalat dan ikut menyaksikan kebaikan dan dakwah muslimin. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab?” Nabi menjawab: “Hendaknya saudaranya meminjamkan jilbabnya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim Kitabul ‘Idain Bab Dzikru Ibahati Khurujinnisa)
Perhatikanlah perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pergi menuju tempat shalat, sampai-sampai yang tidak punya jilbabpun tidak mendapatkan udzur. Bahkan tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain.
Shiddiq Hasan Khan berkata: “Perintah untuk keluar berarti perintah untuk shalat bagi yang tidak punya udzur… Karena keluarnya (ke tempat shalat) merupakan sarana untuk shalat dan wajibnya sarana tersebut berkonsekuensi wajibnya yang diberi sarana (yakni shalat).
Di antara dalil yang menunjukkan wajibnya Shalat Id adalah bahwa Shalat Id menggugurkan Shalat Jum’at bila keduanya bertepatan dalam satu hari. Dan sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin menggugurkan suatu kewajiban.” (Ar-Raudhatun Nadiyyah, 1/380 dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah. Lihat pula lebih rinci dalam Majmu’ Fatawa, 24/179-186, As-Sailul Jarrar, 1/315, Tamamul Minnah, hal. 344)
Wajibkah Shalat Id Bagi Musafir?
Sebuah pertanyaan telah diajukan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang intinya: Apakah untuk Shalat Id disyaratkan pelakunya seorang yang mukim (tidak sedang bepergian)?
Beliau kemudian menjawab yang intinya: “Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ada yang mengatakan, disyaratkan mukim. Ada yang mengatakan, tidak disyaratkan mukim.”
Lalu beliau mengatakan: “Yang benar tanpa keraguan, adalah pendapat yang pertama. Yaitu Shalat Id tidak disyariatkan bagi musafir, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan safar dan melakukan 3 kali umrah selain umrah haji, beliau juga berhaji wada’ dan ribuan manusia menyertai beliau, serta beliau berperang lebih dari 20 peperangan, namun tidak seorangpun menukilkan bahwa dalam safarnya beliau melakukan Shalat Jum’at dan Shalat Id…” (Majmu’ Fatawa, 24/177-178)
Mandi Sebelum Melakukan Shalat Id
عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَغْتَسِلُ يَوْمَ الْفِطْرِ قَبْلَ أَنْ يَغْدُوَ إِلَى الْمُصَلَّى
“Dari Malik dari Nafi’, ia berkata bahwa Abdullah bin Umar dahulu mandi pada hari Idul Fitri sebelum pergi ke mushalla (lapangan).” (Shahih, HR. Malik dalam Al-Muwaththa` dan Al-Imam Asy-Syafi’i dari jalannya dalam Al-Umm)
Dalam atsar lain dari Zadzan, seseorang bertanya kepada ‘Ali radhiallahu ‘anhu tentang mandi, maka ‘Ali berkata: “Mandilah setiap hari jika kamu mau.” Ia menjawab: “Tidak, mandi yang itu benar-benar mandi.” Ali radhiallahu ‘anhu berkata: “Hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Adha, dan hari Idul Fitri.” (HR. Al-Baihaqi, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa`, 1-176-177))
Memakai Wewangian
عَنْ مُوْسَى بْنِ عُقْبَةَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ يَغْتَسِلُ وَيَتَطَيَّبُ يَوْمَ الْفِطْرِ
“Dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ bahwa Ibnu ‘Umar mandi dan memakai wewangian di hari Idul fitri.” (Riwayat Al-Firyabi dan Abdurrazzaq)
Al-Baghawi berkata: “Disunnahkan untuk mandi di hari Id. Diriwayatkan dari Ali bahwa beliau mandi di hari Id, demikian pula yang sejenis itu dari Ibnu Umar dan Salamah bin Akwa’ dan agar memakai pakaian yang paling bagus yang dia dapati serta agar memakai wewangian.” (Syarhus Sunnah, 4/303)
Memakai Pakaian yang Bagus
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: أَخَذَ عُمَرُ جُبَّةً مِنْ إِسْتَبْرَقٍ تُبَاعُ فِي السُّوْقِ فَأَخَذَهَا فَأَتَى بِهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ابْتَعْ هَذِهِ تَجَمَّلْ بِهَا لِلْعِيْدِ وَالْوُفُوْدِ. فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا هَذِهِ لِبَاسُ مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ
Dari Abdullah bin Umar bahwa Umar mengambil sebuah jubah dari sutera yang dijual di pasar maka dia bawa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Umar radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai Rasulullah, belilah ini dan berhiaslah dengan pakaian ini untuk hari raya dan menyambut utusan-utusan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata: “Ini adalah pakaian orang yang tidak akan dapat bagian (di akhirat)….” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabul Jum’ah Bab Fil ‘Idain wat Tajammul fihi dan Muslim Kitab Libas Waz Zinah)
Ibnu Rajab berkata: “Hadits ini menunjukkan disyariatkannya berhias untuk hari raya dan bahwa ini perkara yang biasa di antara mereka.” (Fathul Bari)
Makan Sebelum Berangkat Shalat Id
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ. وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ: حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللهِ قَالَ: حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
Dari Anas bin Malik ia berkata: Adalah Rasulullah tidak keluar di hari fitri sebelum beliau makan beberapa kurma. Murajja‘ bin Raja‘ berkata: Abdullah berkata kepadaku, ia mengatakan bahwa Anas berkata kepadanya: “Nabi memakannya dalam jumlah ganjil.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Akl Yaumal ‘Idain Qablal Khuruj)
Ibnu Rajab berkata: “Mayoritas ulama menganggap sunnah untuk makan pada Idul Fitri sebelum keluar menuju tempat Shalat Id, di antara mereka ‘Ali dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.”
Di antara hikmah dalam aturan syariat ini, yang disebutkan oleh para ulama adalah:
a. Menyelisihi Ahlul kitab, yang tidak mau makan pada hari raya mereka sampai mereka pulang.
b. Untuk menampakkan perbedaan dengan Ramadhan.
c. Karena sunnahnya Shalat Idul Fitri lebih siang (dibanding Idul Adha) sehingga makan sebelum shalat lebih menenangkan jiwa. Berbeda dengan Shalat Idul Adha, yang sunnah adalah segera dilaksanakan. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/89)
Bertakbir Ketika Keluar Menuju Tempat Shalat
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ، فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: “Dalam hadits ini ada dalil disyariatkannya apa yang diamalkan kaum muslimin yaitu bertakbir dengan keras selama perjalanan menuju tempat shalat walaupun banyak di antara mereka mulai menggampangkan sunnah (ajaran) ini, sehingga hampir-hampir menjadi sekedar berita (apa yang dulu terjadi). Hal itu karena lemahnya mental keagamaan mereka dan karena rasa malu untuk menampilkan sunnah serta terang-terangan dengannya. Dan dalam kesempatan ini, amat baik untuk kita ingatkan bahwa mengeraskan takbir di sini tidak disyariatkan padanya berpadu dalam satu suara sebagaimana dilakukan sebagian manusia2…” (Ash-Shahihah: 1 bagian 1 hal. 331)
Lafadz Takbir
Tentang hal ini tidak terdapat riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam –wallahu a’lam–. Yang ada adalah dari shahabat, dan itu ada beberapa lafadz.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata: Telah shahih mengucapkan 2 kali takbir dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu:
أَنَّهُ كَانَ يُكَبِرُ أَيَّامَ التَّشْرِيْقِ: اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Bahwa beliau bertakbir di hari-hari tasyriq:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهٌ وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
(HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/2/2 dan sanadnya shahih)
Namun Ibnu Abi Syaibah menyebutkan juga di tempat yang lain dengan sanad yang sama dengan takbir tiga kali. Demikian pula diriwayatkan Al-Baihaqi (3/315) dan Yahya bin Sa’id dari Al-Hakam dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dengan tiga kali takbir.
Dalam salah satu riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلَّ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
(Lihat Irwa`ul Ghalil, 3/125)
Tempat Shalat Id
Banyak ulama menyebutkan bahwa petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat dua hari raya adalah beliau selalu melakukannya di mushalla.
Mushalla yang dimaksud adalah tempat shalat berupa tanah lapang dan bukan masjid, sebagaimana dijelaskan sebagian riwayat hadits berikut ini.
عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: خَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أَضْحًى إِلَى الْبَقِيْعِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ وَقَالَ: إِنَّ أَوَّلَ نُسُكِنَا فِي يَوْمِنَا هَذَا أَنْ نَبْدَأَ بِالصَّلاَةِ ثُمَّ نَرْجِعَ فَنَنْحَرَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ وَافَقَ سُنَّتَنَا
Dari Al-Bara’ Ibnu ‘Azib ia berkata: “Nabi pergi pada hari Idul Adha ke Baqi’ lalu shalat 2 rakaat lalu menghadap kami dengan wajahnya dan mengatakan: ‘Sesungguhnya awal ibadah kita di hari ini adalah dimulai dengan shalat. Lalu kita pulang kemudian menyembelih kurban. Barangsiapa yang sesuai dengan itu berarti telah sesuai dengan sunnah…” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Istiqbalul Imam An-Nas Fi Khuthbatil ‘Id)
Ibnu Rajab berkata: “Dalam hadits ini dijelaskan bahwa keluarnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalatnya adalah di Baqi’, namun bukan yang dimaksud adalah Nabi shalat di kuburan Baqi’. Tapi yang dimaksud adalah bahwa beliau shalat di tempat lapang yang bersambung dengan kuburan Baqi’ dan nama Baqi’ itu meliputi seluruh daerah tersebut. Juga Ibnu Zabalah telah menyebutkan dengan sanadnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Id di luar Madinah sampai di lima tempat, sehingga pada akhirnya shalatnya tetap di tempat yang dikenal (untuk pelaksanaan Id, -pent.). Lalu orang-orang sepeninggal beliau shalat di tempat itu.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/144)
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلاَةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُوْمُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوْسٌ عَلَى صُفُوْفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوْصِيْهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ فَإِنْ كَانَ يُرِيْدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ ثُمَّ يَنْصَرِفُ
“Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia mengatakan: Bahwa Rasulullah dahulu keluar di hari Idul Fitri dan Idhul Adha ke mushalla, yang pertama kali beliau lakukan adalah shalat, lalu berpaling dan kemudian berdiri di hadapan manusia sedang mereka duduk di shaf-shaf mereka. Kemudian beliau menasehati dan memberi wasiat kepada mereka serta memberi perintah kepada mereka. Bila beliau ingin mengutus suatu utusan maka beliau utus, atau ingin memerintahkan sesuatu maka beliau perintahkan, lalu beliau pergi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Al-Khuruj Ilal Mushalla bi Ghairil Mimbar dan Muslim)
Ibnu Hajar menjelaskan: “Al-Mushalla yang dimaksud dalam hadits adalah tempat yang telah dikenal, jarak antara tempat tersebut dengan masjid Nabawi sejauh 1.000 hasta.” Ibnul Qayyim berkata: “Yaitu tempat jamaah haji meletakkan barang bawaan mereka.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata: “Nampaknya tempat itu dahulu di sebelah timur masjid Nabawi, dekat dengan kuburan Baqi’…” (dinukil dari Shalatul ‘Idain fil Mushalla Hiya Sunnah karya Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 16)
Waktu Pelaksanaan Shalat
يَزِيْدُ بْنُ خُمَيْرٍ الرَّحَبِيُّ قَالَ: خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ اْلإِمَامِ. فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ وَذَلِكَ حِيْنَ التَّسْبِيْحِ
“Yazid bin Khumair Ar-Rahabi berkata: Abdullah bin Busr, salah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama orang-orang di Hari Idul Fitri atau Idhul Adha, maka ia mengingkari lambatnya imam. Iapun berkata: ‘Kami dahulu telah selesai pada saat seperti ini.’ Dan itu ketika tasbih.” (Shahih, HR. Al-Bukhari secara mua’llaq, Kitabul ‘Idain Bab At-Tabkir Ilal ‘Id, 2/456, Abu Dawud Kitabush Shalat Bab Waqtul Khuruj Ilal ‘Id: 1135, Ibnu Majah Kitab Iqamatush- shalah was Sunan fiha Bab Fi Waqti Shalatil ’Idain. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Yang dimaksud dengan kata “ketika tasbih” adalah ketika waktu shalat sunnah. Dan itu adalah ketika telah berlalunya waktu yang dibenci shalat padanya. Dalam riwayat yang shahih riwayat Ath-Thabrani yaitu ketika Shalat Sunnah Dhuha.
Ibnu Baththal berkata: “Para ahli fiqih bersepakat bahwa Shalat Id tidak boleh dilakukan sebelum terbitnya matahari atau ketika terbitnya. Shalat Id hanyalah diperbolehkan ketika diperbolehkannya shalat sunnah.” Demikian dijelaskan Ibnu Hajar. (Al-Fath, 2/457)
Namun sebenarnya ada yang berpendapat bahwa awal waktunya adalah bila terbit matahari, walaupun waktu dibencinya shalat belum lewat. Ini pendapat Imam Malik. Adapun pendapat yang lalu, adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan salah satu pendapat pengikut Syafi’i. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/104)
Namun yang kuat adalah pendapat yang pertama, karena menurut Ibnu Rajab: “Sesungguhnya telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rafi’ bin Khadij dan sekelompok tabi’in bahwa mereka tidak keluar menuju Shalat Id kecuali bila matahari telah terbit. Bahkan sebagian mereka Shalat Dhuha di masjid sebelum keluar menuju Id. Ini menunjukkan bahwa Shalat Id dahulu dilakukan setelah lewatnya waktu larangan shalat.” (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Apakah Waktu Idul Fitri lebih Didahulukan daripada Idul Adha?
Ada dua pendapat:
Pertama, bahwa keduanya dilakukan dalam waktu yang sama.
Kedua, disunnahkan untuk diakhirkan waktu Shalat Idul Fitri dan disegerakan waktu Idul Adha. Itu adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini yang dikuatkan Ibnu Qayyim, dan beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melambatkan Shalat Idul Fitri serta menyegerakan Idul Adha. Dan Ibnu ‘Umar dengan semangatnya untuk mengikuti sunnah tidak keluar sehingga telah terbit matahari dan bertakbir dari rumahnya menuju mushalla.” (Zadul Ma’ad, 1/427, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105)
Hikmahnya, dengan melambatkan Shalat Idul Fitri maka semakin meluas waktu yang disunahkan untuk mengeluarkan zakat fitrah; dan dengan menyegerakan Shalat Idul Adha maka semakin luas waktu untuk menyembelih dan tidak memberatkan manusia untuk menahan dari makan sehingga memakan hasil qurban mereka. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/105-106)
Tanpa Adzan dan Iqamah
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَيْنِ غَيْرَ مَرَّةٍ وَلاَ مَرَّتَيْنِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ
Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Aku shalat bersama Rasulullah 2 Hari Raya (yakni Idul Fitri dan Idul Adha), bukan hanya 1 atau 2 kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ قَالاَ: لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَلاَ يَوْمَ اْلأَضْحَى ثُمَّ سَأَلْتُهُ بَعْدَ حِيْنٍ عَنْ ذَلِكَ فَأَخْبَرَنِي قَالَ: أَخْبَرَنِي جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيُّ أَنْ لاَ أَذَانَ لِلصَّلاَةِ يَوْمَ الْفِطْرِ حِيْنَ يَخْرُجُ اْلإِمَامُ وَلاَ بَعْدَ مَا يَخْرُجُ وَلاَ إِقَامَةَ وَلا نِدَاءَ وَلاَ شَيْءَ، لاَ نِدَاءَ يَوْمَئِذٍ وَلاَ إِقَامَةَ
Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dan Jabir bin Abdillah Al-Anshari keduanya berkata: “Tidak ada adzan pada hari Fitri dan Adha.” Kemudian aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang itu, maka ia mengabarkan kepadaku bahwa Jabir bin Abdillah Al-Anshari mengatakan: “Tidak ada adzan dan iqamah di hari Fitri ketika keluarnya imam, tidak pula setelah keluarnya. Tidak ada iqamah, tidak ada panggilan dan tidak ada apapun, tidak pula iqamah.” (Shahih, HR. Muslim)
Ibnu Rajab berkata: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam hal ini dan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar radhiallahu ‘anhuma melakukan Shalat Id tanpa adzan dan iqamah.”
Al-Imam Malik berkata: “Itu adalah sunnah yang tiada diperselisihkan menurut kami, dan para ulama sepakat bahwa adzan dan iqamah dalam shalat 2 Hari Raya adalah bid’ah.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/94)
Bagaimana dengan panggilan yang lain semacam: Ash-shalatu Jami’ah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan pengikutnya menganggap hal itu sunnah. Mereka berdalil dengan: Pertama: riwayat mursal dari seorang tabi’in yaitu Az-Zuhri.
Kedua: mengqiyaskannya dengan Shalat Kusuf (gerhana).
Namun pendapat yang kuat bahwa hal itu juga tidak disyariatkan. Adapun riwayat dari Az-Zuhri merupakan riwayat mursal yang tentunya tergolong dha’if (lemah). Sedangkan pengqiyasan dengan Shalat Kusuf tidaklah tepat, dan keduanya memiliki perbedaan. Di antaranya bahwa pada Shalat Kusuf orang-orang masih berpencar sehingga perlu seruan semacam itu, sementara Shalat Id tidak. Bahkan orang-orang sudah menuju tempat shalat dan berkumpul padanya. (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab, 6/95)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu berkata: “Qiyas di sini tidak sah, karena adanya nash yang shahih yang menunjukkan bahwa di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Shalat Id tidak ada adzan dan iqamah atau suatu apapun. Dan dari sini diketahui bahwa panggilan untuk Shalat Id adalah bid’ah, dengan lafadz apapun.” (Ta’liq terhadap Fathul Bari, 2/452)
Ibnu Qayyim berkata: Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai ke tempat shalat maka mulailah beliau shalat tanpa adzan dan iqamah dan tanpa ucapan “Ash-shalatu Jami’ah”, dan Sunnah Nabi adalah tidak dilakukan sesuatupun dari (panggilan-panggilan) itu. (Zadul Ma’ad, 1/427)
Kaifiyah (Tata Cara) Shalat Id
Shalat Id dilakukan dua rakaat, pada prinsipnya sama dengan shalat-shalat yang lain. Namun ada sedikit perbedaan yaitu dengan ditambahnya takbir pada rakaat yang pertama 7 kali, dan pada rakaat yang kedua tambah 5 kali takbir selain takbiratul intiqal.
Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir ruku’, sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aisyah dalam riwayatnya:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَاْلأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيْرَتَيْ الرُّكُوْعِ
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah bertakbir para (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali selain 2 takbir ruku’.” (HR. Abu Dawud dalam Kitabush Shalat Bab At-Takbir fil ’Idain. ‘Aunul Ma’bud, 4/10, Ibnu Majah no. 1280, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1149)
Pertanyaan: Apakah pada 5 takbir pada rakaat yang kedua dengan takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut selain takbiratul intiqal. (Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan: Tentang 7 takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat:
Pertama: Pendapat Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma bahwa 7 takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178, Aunul Ma’bud, 4/6, Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Kedua: Pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i, bahwa 7 takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (Al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Nampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i. Hal itu karena ada riwayat yang mendukungnya, yaitu:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جِدِّهِ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيْدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً، سَبْعًا فِي اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِي اْلآخِرَةِ سِوَى تَكْبِيْرَتَيِ الصَّلاَةِ
“Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.”(Ini lafadz Ath-Thahawi)
Adapun lafadz Ad-Daruquthni:
سِوَى تَكْبِيْرَةِ اْلإِحْرَامِ
“Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Ad-Daruquthni, 2/47-48 no. 20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, tahqiq As-Sayyid Abdullah Hasyim Al-Yamani, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)
Adapun bacaan surat pada 2 rakaat tersebut, semua surat yang ada boleh dan sah untuk dibaca. Akan tetapi dahulu Nabi membaca pada rakaat yang pertama “Sabbihisma” (Surat Al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “Hal ataaka” (Surat Al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama Surat Qaf dam kedua Surat Al-Qamar (keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427-428)
Apakah Mengangkat Tangan di Setiap Takbir Tambahan?
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).
Tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih dalam hal ini.
Kapan Membaca Doa Istiftah?
Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)
Khutbah Id
Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khutbah.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: شَهِدْتُ الْعِيْدَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّوْنَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
“Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Aku mengikuti Shalat Id bersama Rasulullah, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman maka mereka semua shalat dahulu sebelum khutbah.” (Shahih, HR Al-Bukhari Kitab ‘Idain Bab Al-Khutbah Ba’dal Id)
Dalam berkhutbah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar, mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan juga beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan shadaqah, karena ternyata kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
Jamaah Id dipersilahkan memilih duduk mendengarkan atau tidak, berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ السَّائِبِ قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيْدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلاَةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
Dari ‘Abdullah bin Saib ia berkata: Aku menyaksikan bersama Rasulullah Shalat Id, maka ketika beliau selesai shalat, beliau berkata: “Kami berkhutbah, barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khutbah duduklah dan barangsiapa yang ingin pergi maka silahkan.” (Shahih, HR. Abu Dawud dan An-Nasa`i. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun alangkah baiknya untuk mendengarkannya bila itu berisi nasehat-nasehat untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berpegang teguh dengan agama dan Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya bila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah di masyarakat kecuali kekacauan. Wallahu a’lam.
Wanita yang Haid
Wanita yang sedang haid tetap mengikuti acara Shalat Id, walaupun tidak boleh melakukan shalat, bahkan haram dan tidak sah. Ia diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat sebagaimana hadits yang lalu dalam pembahasan hukum Shalat Id.
Sutrah Bagi Imam
Sutrah adalah benda, bisa berupa tembok, tiang, tongkat atau yang lain yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya, panjangnya kurang lebih 1 hasta. Telah terdapat larangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melewati orang yang shalat. Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah. Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum. Ini adalah Sunnah yang mayoritas orang meninggalkannya. Oleh karenanya, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam Shalat Id.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا خَرَجَ يَوْمَ الْعِيْدِ أَمَرَ بِالْحَرْبَةِ فَتُوْضَعُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَيُصَلِّي إِلَيْهَا وَالنَّاسُ وَرَاءَهُ وَكَانَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السَّفَرِ فَمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَهَا اْلأُمَرَاءُ
“Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu apabila keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya, lalu beliau shalat ke hadapannya, sedang orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu di safarnya dan dari situlah para pimpinan melakukannya juga.” (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitabush Shalat Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah dan Kitabul ‘Idain Bab Ash-Shalat Ilal harbah Yaumul Id. Al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)
Bila Masbuq (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Al-Imam Al-Bukhari membuat bab dalam Shahih-nya berjudul: “Bila tertinggal shalat Id maka shalat 2 rakaat, demikian pula wanita dan orang-orang yang di rumah dan desa-desa berdasarkan sabda Nabi: ‘Ini adalah Id kita pemeluk Islam’.”
Adalah ‘Atha` (tabi’in) bila ketinggalan Shalat Id beliau shalat dua rakaat.
Bagaimana dengan takbirnya? Menurut Al-Hasan, An-Nakha’i, Malik, Al-Laits, Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat, shalat dengan takbir seperti takbir imam. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169)
Pulang dari Shalat Id Melalui Rute Lain saat Berangkat
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ يَوْمُ عِيْدٍ خَالَفَ الطَّرِيْقَ
Dari Jabir, ia berkata:” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila di hari Id, beliau mengambil jalan yang berbeda. (Shahih, HR. Al-Bukhari Kitab Al-’Idain Bab Man Khalafa Thariq Idza Raja’a…, Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 2/472986, karya Ibnu Rajab, 6/163 no. 986)
Ibnu Rajab berkata: “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, bila pergi melalui suatu jalan menuju Shalat Id maka pulang dari jalan yang lainnya. Dan itu adalah pendapat Al-Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i dan Ahmad… Dan seandainya pulang dari jalan itu, maka tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya, di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166-167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)
Bila Id Bertepatan dengan Hari Jum’at
عَنْ إِيَاسِ بْنِ أَبِي رَمْلَةَ الشَّامِيِّ قَالَ: شَهِدْتُ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَهُوَ يَسْأَلُ زَيْدَ بْنَ أَرْقَمَ قَالَ: أَشَهِدْتَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِيْدَيْنِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَكَيْفَ صَنَعَ؟ قَالَ: صَلَّى الْعِيْدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
Dari Iyas bin Abi Ramlah Asy-Syami, ia berkata: Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dia sedang bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Apakah kamu menyaksikan bersama Rasulullah, dua Id berkumpul dalam satu hari?” Ia menjawab: “Iya.” Mu’awiyah berkata: “Bagaimana yang beliau lakukan?” Ia menjawab: “Beliau Shalat Id lalu memberikan keringanan pada Shalat Jumat dan mengatakan: ‘Barangsiapa yang ingin mengerjakan Shalat Jumat maka shalatlah’.”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيْدَانِ، فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُوْنَ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata: “Telah berkumpul pada hari kalian ini 2 Id, maka barangsiapa yang berkehendak, (Shalat Id) telah mencukupinya dari Jum’at dan sesungguhnya kami tetap melaksanakan Jum’at.” (Keduanya diriwayatkan Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1070 dan 1073)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat yang ke-3 dan itulah yang benar, bahwa yang ikut Shalat Id maka gugur darinya kewajiban Shalat Jum’at. Akan tetapi bagi imam agar tetap melaksanakan Shalat Jum’at, supaya orang yang ingin mengikuti Shalat Jum’at dan orang yang tidak ikut Shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para shahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Lalu beliau mengatakan juga bahwa yang tidak Shalat Jum’at maka tetap Shalat Dzuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak Shalat Dzuhur pula, di antaranya ‘Atha`. Tapi ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat At-Tamhid, 10/270-271)
Ucapan Selamat Saat Hari Raya
Ibnu Hajar mengatakan: “Kami meriwayatkan dalam Al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata: ‘Para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bertemu di hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain:
تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
“Semoga Allah menerima (amal) dari kami dan dari kamu.” (Lihat pula masalah ini dalam Ahkamul ‘Idain karya Ali Hasan hal. 61, Majmu’ Fatawa, 24/253, Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/167-168)
Wallahu a’lam.
1 ‘Id artinya kembali.
2 Karena Nabi tidak memberi contoh demikian dalam ibadah ini. Lain halnya –wallahu a’lam– bila kebersamaan itu tanpa disengaja.

hutbah idul fitri



اَللهُ اَكْبَرْ × ٩ أَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً
لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ أَللهُ أَكْبَرْ, اَللهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
اَلْــحَمْدُ لِلَّهِ اَلَّذِيْ جَعَلَ هَذَاالْيَوْمَ عِيْدًا لِلْأِسْلَامِ وَحَرَّمَ عَلَيْهِ فِيْهِ الصِّيَامُ
نَحْمَدُهُ وَنَشْكُرُهُ عَلَى كَمَالِ إِحْسَانِهْ وَهُوَ ذُوالْجَلاَلِ وَالْإِكْرَامْ
وَأَسْئَــلُهُ الْهِدَايَةَ وَالتَّوْفِيْقَ عَلَى الْأِنْقِيَادِ لِدِيْنِهِ الْأِسْــلاَمِ
أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدَا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللهُــمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
" اَمَّا بَعْدُ "
فَيَا أَيُّهَا الْمُجَمِّعُوْنَ الْكِرَامُ إِتَّقُوااللهَ قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّـى وَذَكَرَاسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى

Hadirin Qoum Muslimin Jama'ah Sidang Jumat Rohimakumulloh

melalui mimbar khutbah yang mulia ini izinkanlah kami berwasiat kepada diri kami pribadi khususnya juga kepada para hadirin jamaah solat idil fitri

  اَللهُ اَكْبَرْ ×   اَللهُ أَكْبَرْ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Jumat, 10 Juli 2015

Kerangka Tesis Manajemen Pendidikan Agama Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang Masalah
Agama Islam menekankan manusia untuk belajar, atau menuntut ilmu. Bahkan perintah untuk belajar ini dimulai dari lahir sampai ajal menjemput. Hal ini diandaikan bahwa seumpama manusia tidak bisa mati niscaya pendidikan adalah suatu hal yang abadi atau tidak akan mati. Dijelaskan bahwa dengan matinya ulamaknya manusialah, ilmu Allah yang ada di dunia ini diambil. Nabi Muhammad S.A.W pernah bersabda :
عـن عبدالله ابن عمرو ابن العاص رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله يقول : إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من الناس ، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يترك عالما اتخذ الناس رؤسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا[1]
Artinya: Dari Abdullah bin Amr bin Ash R.A. berkata: Saya mendengar Rasulullah  berkata:  Sesungguhnya  Allah  tidak  mengambil  ilmu dari hambanya secara tiba-tiba, tapi Dia mengambil ilmu dengan mengambil para Ulama. Sehingga ketika sudah tidak ada para Ulama, manusia menjadikan orang bodoh sebagai pemimpin, mereka  (pemimpin)  ditanya,  dan  memberikan  nasehat  tanpa menggunakan ilmu, maka mereka tersesat dan menyesatkan.[2]

Penerapan pendidikan diharapkan adanya perubahan yang mendasar bagi kelangsungan kehidupan, terutama dalam menghadapi permasalahan dan cobaan. Pendewasaan terhadap anak didik, agar menjadi manusia seutuhnya, yang meliputi kecerdasan, pengendalian diri, akhlak mulia, dan kemampuan serta ketrampilan yang dibutuhkan dirinya maupun masyarakat adalah tujuan yang tertuang dalam undang-undang pendidikan[3]. Membuat anak didik mampu memiliki hal tersebut bukanlah hal yang sangat ringan, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Perlu proses, dan perlu ada dukungan dari semua elemen masyarakat, guru, dan sekolahan.
Keyataan dalam pelaksanaan dilapangan masih saja kita dapati permasalahan yang menyelimuti dunia pendidikan kita. Pendidikan yang diharapkan menjadi bekal buat membangun masyarakat yang tercerahkan masih   belum   bisa   menjawab   problem   yang   ada,   sehingga   kualitas pendidikan di indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara yang lain.
Menurut survei Politicaland EconomicRisk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia dan pada tahun 2010 ini merupakan negara terkorup dari 16 negara tujuan investasi di asia pasifik. Indonesia menempati peringkat pertama sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu.[4]
Hasil survey tahun 2007 World Competitiveness Year Book memaparkan   daya   saing   pendidikan   dari   55   negara   yang   diseurvei, Indonesia berada pada urutan 53. Disamping itu, kualitas pendidikan tinggi Indonesia   juga   masih   tertinggal  dibandingkan  dengan  negara-negara tetangga kita. Jika dilihat dari survei Times Higher Education Supplement (THES) 2006, perguruan tinggi Indonesia Baru bisa menjebol deretan 250 yang diwakili oleh Universitas Indonesia, kualitas ini berada di bawah prestasi Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) yang menempati urutan 185. Kemudian pada tahun 2007 menurut survei THES perguruan tinggi di Indonesia masih belum dapat menyaingi perguruan tinggi seperti di Singapur, Thailand dan seterusnya.[5]
Implikasi kualitas pendidikan rendah ini terhadap sumber daya manusia sangat jelas sekali. Rendahnya kualitas pendidikan dapat dilihat dari Human Development Index (HDI) Indonesia. Menurut laporan United Nation  Development  Programe/UNDP  HDI  pada  tahun  2007  dari  177 negara yang dipulikasikan HDI Indonesia berada pada urutan ke-107. Indonesia memperoleh indeks 0,728. Di kawasan ASEAN Indonesia menempati urutan ke-7 dari sembilan negara ASEAN yang dipublikasikan. Peringkat teratas di ASEAN adalah Singapura dengan HDI 0,922, disusul Brunei Darussalam 0,894, Malaysia 0,811, Thailand 0,781, Filipina 0,771, dan Vietnam 0,733. Sedangkan Kamboja 0,598 dan Myanmar 0,583 berada di bawah HDI  Indonesia.[6]
Sekian banyak permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan yang paling menonjol adalah permasalahan yang dilakukan oleh siswa. Banyak sekali persoalan yang muncul  dari tingkah-laku siswa, yang tentunya sangat mengganggu dalam peningkatan kualitas tercapainya nilai akademik yang telah ditentukan. Dalam beberapa hal ada kesamaan tentang kenakalan yang dilakukan oleh remaja saat ini. Misalnya, suka mencuri atau mengutil, merokok, berbohong, minum-minuman keras, main game, judi, membolos, tawuran atau pertengkaran antarsiswa, narkoba sampai-sampai pada pelecehan seksual dan aborsi.
Dalam pantuan Komnas Perlindungan Anak yang rilis disurat kabar Kompas, menunjukkan bagaimana remaja yang identik dengan mereka yang masih menempuh kegiatan menuntut ilmu banyak yang tersandung masalah. Dan kebanyakan adalah kasus kriminal. Menurut catatan ahir tahun 2009 dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, terdapat 1.258 aduan mengenai kasus kenakalan yang dilakukan anak. Sekitar 52 persen darijumlah kasus itu adalah kasus pencurian, diikuti dengan kekerasan, pemerkosaan, narkoba, perjudian, dan penganiayaan. Dan sekitar 89,8 persen kasus berahir dengan pemidanaan. Sekertaris  Jendral  Komnas  PA  Merdeka  Sirait  mengatakan  bahwa ditemukan 5.308 anak yang mendekam di 16 lembaga pemasyarakatan di Indonesia.[7]
Dalam hal tersebut perlu adanya penyadaran kembali tentang tanggung jawab dari   sekolahan   atau   lembaga   pendidikan   tersebut.   Sekolah   memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan mutu pendidikan yang tercermin dari keberhasilan meningkatkan mutu dari anak didiknya. Sehingga diperlukan adanya perubahan tatanilai, baik yang berkaitan dengan tatanan system pembelajarannya  maupun  dalam  tataran  manajemennya.  Oleh  sebab  itu maka sekolah wajib dikelola dengan manajemen yang baik.
Agama Islam memberikan keterangan bahwa manusia membutuhkan manajeman, karena dengan adanya manajeman tersebut dapat membantu atau mengatur kehidupan manusia agar menjadi lebih baik dan terarah. Pada Surat At- Taubah ayat 122 Allah S.W.T. berfirman:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ[8]
Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka   beberapa   orang   untuk   memperdalam   pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya  apabila  mereka  telah  kembali  kepadanya,  supaya mereka itu dapat menjaga dirinya [9].

Surat An-Nisa ayat: 9 juga dijelaskan adanya manajemen:
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ
فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا[10]
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainyameninggalkan  dibelakang  mereka  anak-anak  yang  lemah,  yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.[11]

Dalam  surat  At-Taubah  ayat  122  dapat  di  ambil  pemahaman bahwa tidaklah semua orang Islam itu pergi ke medan perang semua, tapi harus ada pembagian dua kelompok, yang pertama kemedan perang dan yang kedua berada di rumah untuk belajar ilmu agama kepada nabi. Walaupun perang itu diwajibkan tapi bagi yang tidak berangkat ke medan perang bukanlah merupakan dosa, jadi harus ada pengaturan antara yang berangkat perang dan yang harus ada yang tinggal dirumah untuk belajar dan mengajarkan ilmu agama kepada orang anak turun mereka agar tidak menjadi generasi yang lemah, dan bisa dibanggakan. Adanya pengaturan agar semua yang pergi ke medan perang dan yang tinggal dirumah ini sama- sama mengerjakan perintah agama dan mendapat pahala. Ada juga yang berpendapat ayat ini memang tidak berhubungan dengan jihad, tapi untuk memerintah   sebagian   kecil   orang   musli untuk   Tafaquh   mencari pemahaman ilmu agama, dan diwajibkan kembali ke kaumnya yang masih kafir agar bisa bertaubat.[12]
Sedangkan dalam surat An-Nisa ayat 9, ayat ini berhubungan dengan  pengaturan  Dalam wasiat  harta  warisan  bagi  anak  yatim.  Dalam pengaturannya tidak dibenarkan memberikan harta wasiat semua kepada anak yatim sebelum dia dewasa, karena ditakutkan disia-siakannnya harta tersebut.[13]
Juga kata-kata bijak dari Ali bin Abi Thalib yang mengatakan  bahwa:
الباطل بنظام يغلب الحق بلا نظام[14]
Artinya:  Sesuatu  yang  tidak  baik  (kejahatan)  yang  terorganisir  dapat mengalahkan sesuatu yang baik yang tanpa terorganisir.
Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Mulai dari urusan terkecil  seperti  mengatur  urusan  rumah  tangga  sampai  dengan  urusan terbesar seperti mengatur urusan sebuah negara semua itu diperlukan pengaturan yang baik, tepat dan terarah Dalam bingkai sebuah manajemen agar tujuan yang hendak dicapai bisa diraih dan bisa selesai secara efisien dan efektif. Karena seperti yang diucapkan oleh sahabat Umar, R.A bahwa pelaksanaan pengaturan adalah sebagian dari keberhasilan manusia Dalam urusan kehidupannya.
Dalam hal tersebut perlu adanya penyadaran kembali tentang tanggung jawab dari   sekolah   atau   lembaga   pendidikan   tersebut.   Sekolah   memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan mutu pendidikan yang tercermin dari keberhasilan meningkatkan mutu dari anak didiknya. Sehingga diperlukan adanya perubahan tata nilai, baik yang berkaitan dengan tatanan system pembelajarannya maupun Dalam tataran manajemennya. Oleh sebab itu maka sekolah wajib dikelola dengan pola managerial yang baik.
Dari sahabat Umar R.A (dijelaskan) :
عن عمر رضي الله عنه: حسن التودد الى الناس نصف العقل , وحسن السؤال نصف العلم , وحسن ال التدبير نصف المعيشة.[15]
“Bagusnya pergaulan pada manusia   adalah   sebagian   dari akal,   bagusnya pertanyaan adalah sebagian dari pengatahuan, dan bagusnya pengaturan adalah sebagian dari kehidupan (manusia).”

Berdasarkan system pendidikan nasional telah diamanatkan untuk mengembangkan  pendidikan melalui manajemen  secara berkelanjutan yang mencakup peningkatan mutu pengembangan kurikulum, tenaga pendidikan, sarana prasarana, pengelolaan (manajemen) dan pemberdayaan (Pasal 35 Ayat (2).[16]
Managerial adalah kata kerja operasional dari kata manajer. Kata manajer menekankan pada orangnya, sedangkan manajerial menyangkut pekerjaan yang dilakukan manajer. Jadi kata manajerial adalah suatu aktifitas atau pekerjaan yang dilakukan manajer Dalam merencanakan, mengorganisir, mengelola, mengontrol serta mengevaluasi berbagai pekerjaannya.[17]
Karena itu seorang manajer yang ingin sukses harus memberdayakan semua potensi atau mendayagunakan keahlian yang dimiliki oleh warga sekolah dengan pembagian tugas dan wewenang yang jelas, baik Dalam dimensi kinerja dengan kualitas kerja yang baik maupun Dalam dimensi proses kaderisasi pimpinan sekolah pada semua tingkatan.
Keberadaan manager Dalam manajemen pembelajaran  ini sangat dibutuhkan sekali pada lembaga pendidikan untuk mengatur dan mengarahkan siswanya menjadi lebih baik dengan penanganan yang efisien dan efektif. Tidak hanya asal menampung peserta didik tapi ada pengelolaan yang jelas agar out put dari lembaga  tersebut  dapat  dinikmati  hasilnya.  Yaitu  terbentuknya  manusia yang manusiawi.
Terkait dengan manajerial lembaga pendidikan Islam, Madrasah Ibtidaiyah Baru Pangkalan Bun merupakan sebuah Lembaga Pendidikan Islam formal pada jenjang permulaan yang berstatus negeri. MIN BARU Pangkalan Bun disebut juga sebagai SD Plus keagamaan dikarenakan mata pelajaran dan jurusannya sama dengan pelajaran dan jurusan di SD pada umumnya. Namun pelajaran agamanya lebih terperinci dan lebih mendalam, serta memiliki program studi keagamaan.
Selama hampir 5 tahun menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam, berkiprah ikut serta mencerdaskan bangsa. Keberadaan MIN Baru Pangkalan Bun tentu idak lepas dari posisi dan peran Kepala Madrasah yang memimpinnya.[18] Selama itu pula, proses manajerial (pengelolaan) pendidikan berlangsung alot. Hal ini dikarenakan MIN Baru merupakan pendidikan Islam multikultural, karena diDalamnya terdapat pihak-pihak yang memiliki latar belakang suku dan kultur yang berbeda. Baik antara kepala madrasah , guru-guru, maupun dari kalangan siswanya. Namun hal tersebut bukan menjadi kendala bagi MIN Baru untuk terus meningkatkan mutu pendidikannya.    
Keberhasilan MIN Baru Dalam mengelola pendidikan dari berbagai etnis dan kultur diatas juga tingginya animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya di sekolah MIN Baru,  menjadi hal yang sangat menarik untuk dilakukan penelitian. Dari data yang diperoleh dikatakan bahwa pengelolaan pendidikan yang dihasilkan selama ini sangat baik, dikarenakan diantaranya faktor manajemen pembelajaran yang telah diterapkan oleh Kepala Madrasah sehingga MIN Baru menjadi sebuah lembaga pendidikan Islam yang memiliki keunggulan, baik dibidang akademik maupun bidang non akademik.[19]
Implementasi manajerial dalam manajemen pembelajaran yang dilakukan oleh Kepala MIN Baru Pangkalan Bun adala upaya untuk meningkatkan kualitas siswa Dalam mempelajari sesuatu dengan cara evektif dan evisien.
Dalam penerapan kurikulum MIN BARU Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat Provinsi Kalimantan Tengah menggunakan kurikulum pendidikan nasional disamping itu, juga memasukkan muatan lokal semisal tentang membaca, menulis, tidak hanya baca tulis bahasa indonesia tapi juga baca tulis Al-Qur’an, hafalan surah-surah pendek, doa sehari-hari, Bahasa Arab, Praktek sholat dluha dan dzuhur, berinfak, mandiri dan masih banyak lagi pembelajaran khasnya.
Kepala MIN Baru terus berbenah dan menunjukkan eksistensinya, termasuk Dalam hal mewujudkan kedisiplinan sebagaimana Kepala Madrasah telah berhasil menanamkan kepada siswanya kesadaran datang kesekolah setengah jam sebelum jam masuk para siswa  sudah berada disekolah bahkan merasa bersalah jika terlambat. Siswa juga dilibatkan dalam hal kerapian hal itu terbukti ketika upacara tidak ada satupun yang tidak memakai seragam merah putih, memakai topi dan dasi. Siswa juga dilibatkan dalam menjaga kebersihan lingkungan hal tersebut bisa dilihat ketika akan masuk kelas para siswa berebut mengambil dedaunan dan sampah disekitar lingkungan sekolah.
Maka dari alasan tersebut diatas penulis ingin mengetahui seberapa jauh  Implementasi manajerial dalam manajemen pembelajaran di Madrasah Ibtida’iyah Negeri Baru yang ada wilayah Pangkalan Bun Kabupaten Kotawaringin Barat.
Dengan demikian, maka judul penelitian yang penulis ajukan adalah “IMPLEMENTASI MANAJERIAL KEPALA MADRASAH DALAM MANAJEMEN PEMBELAJARAN  DI MIN BARU PANGKALAN BUN”.
B.  Fokus dan sub fokus penelitian
1.    Fokus Penelitian
Dalam uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus penelitian ini adalah Manajerial Kepala Madrasah Dalam manajemen Pembelajaran. Dari Fokus tersebut, dilakukan sebuah pembahasan yang lebih menDalam untuk bisa menganalisis adanya keterkaitan antara Manajerial Kepala Madrasah Dalam Manajemen Pembelajaran  di MIN BARU Pangkalan Bun.
 2. Sub Fokus Penelitian
Dari fokus penelitian yang dikemukakan diatas, kemudian peneliti membagi fokus Dalam kajian yang lebih khusus yaitu tentang  ;
a.    Implementasi Manajerial Kepala Madrasah dalam Perencanaan Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun
b.    Implementasi Manajerial Kepala Madrasah dalam Pengorganisaian Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun
c.    Implementasi Manajerial Kepala Madrasah dalam Pelaksanaan Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun
d.   Implementasi Manajerial Kepala Madrasah dalam Pengendalian  Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun
C.  Rumusan Masalah
Berdasarkan  latar belakang dan fokus serta sub fokus yang dikemukakan diatas, peneliti memperoleh sebuah gambaran mengenai rumusan masalah yang akan dilakukan oleh peneliti dalam penelitian. Rumusan masalah ini berisi tentang apa saja yang akan diteliti dan bagaimana pertanyaan peneliti terhadap sebuah permasalahan dalam penelitian. Rumusan masalah ini juga yang akan membantu peneliti menemukan jawaban penelitian.
Pokok rumusan masalah dalam penelitian  adalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana Implementasi Manajerial Kepala Madrasah dalam Perencanaan Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun?
2.    Bagaimana Implementasi Manajerial Kepala Madrasah dalam Pengorganisasian Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun?
3.    Bagaimana Implementasi Manajerial Kepala Madrasah dalam Pelaksanaan Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun ?
4.    Bagaimana Implementasi Manajerial Kepala Madrasah dalam Pengendalian  Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun ?

D.  Tujuan Penelitian
Berdasarkan  fokus dan sub-fokus penelitian di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan antara lain :
1.    Untuk mengetahui  Implementasi Manajerial Kepala Madrasah Dalam Perencanaan Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun.
2.    Untuk mengetahui  Implementasi Manajerial Kepala Madrasah Dalam Pengorganisasian Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun.
3.    Untuk mengetahui  Implementasi Manajerial Kepala Madrasah Dalam Pelaksanaan Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun.
4.    Untuk mengetahui  Implementasi Manajerial Kepala Madrasah Dalam Pengendalian  Pembelajaran di MIN Baru Pangkalan Bun .
G. Kegunaan Penelitian
1.    Manfaat Teoritis.
Hasil dari penelitian ini diharapkan  dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan Manajemen pembelajaran di sekolah, khususnya pada madrasah yang berkembang.
2.    Manfaat Praktis.
a.    Bagi Sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan masukan yang bermanfaat, dalam rangka peningkatan prestasi dan layanan belajar kepada peserta didik.


b.    Bagi Kepala Sekolah
Memberikan informasi dan membantu mengidentifikasi kebutuhan dalam  pelaksanaan  manajemen  pembelajaran  sehingga  pelayanan pendidikan dan pelaksanaan manajemen kesiswaan menjadi lebih profesional dan sistematis. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu untuk menerapkan manajeman pembelajaran menjadi lebih baik. Sehingga out put yang dihasilkan tidak mengecewakan.
c.    Bagi Peneliti Lain
Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dan bahan pengembangan lebih lanjut tentang manajerial Kepala Madrasah pada umumnya di lingkup Madrasah.





[1]Imam Zainuddin Ahmad Bin Abdullatif Az-Zabidi Mukhtashor Shohih Al-Bukhori
tth(Bairut: Darul Kutub Al Alamiah.), hlm. 36.
[2]Diterjemahkan oleh penulis.
[3]Chabib  Toha  Kapita  Selekta  Pendidikan  Islam  (Yogyakarta:  Pustaka  Pelajar, 1996), hlm. 4 -7.
[4]Kompas,   Senin   8   Maret   2010,   Indonesia       Negara   paling   korup, http://nasional.kompas.com/read/2010/03/08/21205485/PERC.Indonesia.Negara.Paling.Korup. hlm.1
[5]Silfia     Hanani,     Memecahkan     Permasalahan     Dunia     Pendidikan, http
[6]Ibid.

[7]Kompas, Kamis, 24 Desember 2009 Ubah System Peradilan Anak, halaman, 12.
[8] Attaubah[ ]:122
[9] Yayasan penyelenggara penerjemah Al-Quran Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahnya (Semarang: CV. Alwaah, 1993), hlm 301.
[10] Annisa’[ ]:9
[11]  Ibid. Hlm. 116
[12] Imam Fakhruddin Muhammad Bin Umar Ar Rozy Tafsir Al Kabir, (Bairut: Darul Fikr Al Ilmiyah), hlm 179-180.
[13] Syaikh Jalaludin Muhammad Bin Ahmad Al Mahaly dan Jalaluddin Abdurrahman Bin Abu Bakar As Suyuthi Tafsir Al Quran Al Adzim (Bairut: Darul Fikr), hlm 150.
  [14] Suwendi, Rekontruksi System Pendidikan Pesantren, dalam bukunyaSa’id Aqiel Siradjet al. Pesantren Masadepan: Wacana Pemberdayaan Dan Trensformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm 214.
[15] Syaikh  Syihabuddin  Ibn  Hajar  Al-Asqalani  Nashaihul  Ibad,  (Pekalongan:  Raja
Murah,tt), hlm. 61-63
[16] Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Bandung: CitraUmbara), hlm.23.
[18] Dokumentasi MIN BARU Pangkalan Bun, 5 Oktober 2016.
[19] Ibid, 2016.