Sering disebut-sebut madzhab Maliki adalah madzhab yang membolehkan wanita haidh membaca Al-Qur’an. Dan pendapat mereka juga sering dijadikan rujukan atau hujjah oleh berbagai lembaga Tahfizh, agar wanita-wanita yang sedang program tahfizh bisa menyelesaikan hafalannya sesuai target.
Meskipun mereka sedang haidh, mereka tetap dibolehkan membaca dan menghafal Al-qur’an serta memuraja’ah hafalan dengan bersandarkan kepada pendapat madzhab Maliki. Karena jika memakai pendapat jumhur Ulama, sudah tentu membaca dan menghafal Al-qur’an diharamkan.
Dalam hal ini, bagaimanakah pendapat ulama madzhab Maliki sebenarnya? Apakah mereka tidak menggunakan hadis-hadis yang menjadi hujjah jumhur? Dimana dengan berbagai redaksi semua hadisnya melarang wanita haidh dan junub membaca Al-Qur’an. Diantaranya hadis Ibnu Umar RA :
لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئا من القرآن
Dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda : Janganlah wanita haidh dan junub membaca sesuatu pun dari Al-Quran.(HR: At-Tirmidzi)
عَنْ أَبِي وَائِلٍ، قَالَ: كَانَ يُقَالُ: " لَا يَقْرَأُ الْجُنُبُ، وَلَا الْحَائِضُ، وَلَا يُقْرَأُ فِي الْحَمَّامِ، وَحَالَانِ لَا يَذْكُرُ الْعَبْدُ فِيهِمَا اللَّهَ: عِنْدَ الْخَلَاءِ وَعِنْدَ الْجِمَاعِ، إِلَّا أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ، بَدَأَ فَسَمَّى اللَّهَ
Dari Abi Wail, beliau berkata: Diriwayatkan bahwa tidaklah orang yang junub dan haidh membaca (Al-Qur'n), dan tidak pula membacanya saat di kamar mandi. Dan seorang hamba tidak diperkenankan menyebut nama Allah dalam dua keadaan. Saat ia berada di kamar mandi/wc dan ketika berjima' kecuali saat ia mendatangi istrinya maka mengucap bismillah. (HR: Ad-Darimi)
Ibnu Abdil Barr (w. 463) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah dalam kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ahlil Madinah menuliskan sebagai berikut:
ولا يقرأ الجنب ولا الحائض شيئا من القرآن على اختلاف عن مالك وأصحابه في قراءة الحائض وأما الجنب يمكنه الطهر بالماء أو بالصعيد فلا يقرأ حتى يرفع [حدث] الجنابة بأحدهما، وأكثر العلماء على أن الحائض والجنب لا يقرءان شيئا من القرآن ولو قرأت الحائض لصلت، وأما المصحف فلا يمسه أحد قاصدا إليه مباشرا له أو غير مباشر إلا وهو على طهارة
Wanita yang haidh dan junub tidaklah membaca sesuatupun dari Al-Qur’an, berbeda dengan pendapat yang diriwayatkan Imam Malik dan Ulama Malikiyah lainnya. Orang Junub memungkinkan untuknya bersuci, baik dengan air ataupun dengan tanah. Kebanyakan ulama melarang wanita haidh danjunub membaca sesuatu pun dari Al-Qu’an. Kalau dia membacanya sama halnya hukumnya dia shalat. Sedangkan dalam menyentuh mushaf, tidak diperkenankan seorang pun menyentuhnya, kecuali dalam keadaan suci. Baik tersentuh secara langsung maupun menggunakan penghalang atau perantara.
Dari apa yang ditulis Abdil Barr, beliau menyatakan Imam Malik dan beberapa ulama Malikiyah yang lainnya berbeda pendapat dengan jumhur ulama yang melarang wanita haidh membaca Al-Qur’an. Namun dari pernyataan diatas beliau termasuk ulama Malikiyah yang melarang wanita haidh membaca ataupun menyentuh mushaf.
Ibnu Rusyd (w. 595) menegaskan dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid :
فأجازوا للحائض القراءة القليلة استحسانا؛ لطول مقامها حائضا، وهو مذهب مالك.
Para ulama yang membolehkan wanita haidh membaca sedikit Al-qur’an dengan dalil Istihsan, karena lamanya masa haidh. Ini adalah pendapat madzhab Maliki.
Al-Qarafi (w. 684 H) salah satu ulama mazhab Al-Malikiyah di dalam kitab Adz-Dzakhirah menuliskan sebagai berikut :
الثامن في الطراز يفارق الجنب الحائض في جواز قراءة القرآن ظاهرا ومس المصحف للقراءة على المشهور في الحائض لحاجة التعليم وخوف النسيان.
Hukum kedelapan: Dalam Kitab Ath-Thiraz : Hukum terhadap wanita haidh dan junub itu dalam kebolehan membaca Al-qur’an itu berbeda, begitu juga menyentuh mushaf. Dalam membaca Al-Qur’an, pendapat yang masyhur adalah dibolehkan bagi wanita haidh untuk kegiatan mengajar dan dan karena takut lupa.
وأما جواز القراءة فلما يروى عن عائشة رضي الله عنها أنها كانت تقرأ القرآن وهي حائض والظاهر اطلاعه عليه السلام وأما المنع فقياسا على الجنب والفرق للأول من وجهين أن الجنابة مكتسبة وزمانها لا يطول بخلاف الحيض.
Kebolehkan bagi wanita haid membaca Al-Quran, berdasarkan riwayat dari Aisyah RA, bahwasannya Aisyah pernah membaca Al-Quran dalam keadaan haid, dan itu dengan sepengetahuan Rasulullah. Adapun larangan Membaca Al-Quran ini diqiyaskan kepada hukumnya orang junub. Berdasarkan pendapat pertama, karena membedakan antara keadaan orang yang junub dan haidh dalam dua segi; kalau junub terjadi karena kehendak yang melakukan, beda dengan wanita haid. Dan masa junub tidaklah selama masa haid.
Dalam membahas hukum-hukum terkait orang junub dan wanita haidh. Imam Al-Qarafi mengambil rujukan yang ada dalam kitab At-Thiraz atas kebolehan bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an.
Tapi Imam Al-Qarafi meski termasuk ynag membolehkan wanita haidh membaca Al-Qur’an, beliau menegaskan wanita tersebut hanya boleh melafadzkan dengan lisan, tanpa membawa dan memegang mushaf. Sebagaimana pernyataan beliau berikut :
وأما مس المصحف فلقوله تعالى {لا يمسه إلا المطهرون} ولقوله عليه السلام لعمرو بن حزم لا يمس المصحف إلا طاهر.
Adapun dalam menyentuh mushaf, berdasarkan Firman Allah (Tidaklah menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci) dan berdasarkan hadis ‘Amr bin Hazm :” Tidaklah menyentuh mushaf kecuali orang yang suci.
Berdasarkan pemaparan ulama-ulama besar Malikiyah di atas, dapat disimpulkan bahwa mereka tidak semuanya sepakat tentang kebolehan bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an. Seperti Ibnu Abdil Barr di atas.
Sehingga penisbatan atas ulama madzhab Maliki yang membolehkan membaca Al-Qur’an perlu disebutkan siapanya. Atau dengan menyebutkan bahwa pendapat kebolehan membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh ini mengikuti pendapat sebagian ulama Malikiyah.
Dari pendapat-pendapat ulama malikiyah juga dapat disimpulkan, boleh bagi wanita haidh membaca Al-Qur’an, tapi kebolehannya tidak bersifat mutlak, tapi ada pengecualian-pengecualian.
- Boleh membaca bagi mereka yang ingin mengulang hafalannya dikarenakan takut lupa.
- Boleh membaca Al-Qur’an untuk tujuan mengajar.
- Melafadzkan Al-Qur’an tanpa memegang mushaf. Karena menjadi pendapat resmi madzhab Maliki, tidak membolehkan menyentuh mushaf baik tanpa atau pakai penghalang.
Kemudian pendapat yang membolehkan meski menyelisihi pendapat jumhur, bukan berarti mereka tidak mengetahui dan memakai hadis-hadis yang menjadi hujjah bagi jumhur ulama.
Tapi mereka melakukan pengecualian dari ketentuan umum hadis yang menunjukkan keharaman bagi orang yang berhadas besar membaca Al-Qur’an bagi wanita haidh, berpijak pada kemashlatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar